Kamis, 03 September 2015

2 Tawarikh 15:7

Helaw, udah lama banget gue pengen ngepost seputar lika-liku masa menuju ke hidup perkuliahan gue.
Gue baru lulus SMA tahun ini
Keluar dengan amat bangga karena akhirnya keluar dari kandang para serigala berbulu domba, yang dapat kita ketahui KKNnya tinggi banget
Gue lulus, tapi tidak dengan nilainya
Nilai-nilai yang kalau dari dekat terlihat do-re-mi, tapi dari jauh terlihat sol-la-si, sempat membuat gue sedikit terisolasi dalam keadaan murung 'tak berdaya.
Nilai-nilai itulah yang kini menghiasi lembar ijazah yang berlaku seumur hidup gue
Kisah ini gak ada awal dan gak ada akhir
Semua mengalir sesuai degan kehendak Sang Sutradara
Jadi, gue sempat terdoktrin dan berhikmat sendiri. Oke, ingatlah akan kalimat ini "Hikmat manusia adalah kebodohan bagi Allah"
Kalimat itu, kalau ditela'ah memang betul
Karena seringkali kita kejebak. Berdoa minta hikmat dari Tuhan, tanpa kita sadar ternyata kita berhikmat sendiri dan jalan pada jalan sesuai dengan kemauan kita sendiri
Setelah gue lulus dan dapet surat pernyataan kelulusan, gue langsung membuat ancang2 ke mana gue akan melanjutkan sekolah
Temen-temen gue udah ppada dapet kampus dari sewaktu mereka semester 1 kelas 3
Dan gak sedikit dari mereka yang berlomba-lomba bernegosiasi sama kepsek untuk naikin nilai raport (lewat jalur raport), atau memanipulasi peringkat dengan minta surat pernyataan peringkat di kelas supaya dapet potongan biaya kuliahan yang gede
Gue? "Hahaha fokus UN dulu ah," begitu pikir gue.
Karena waktu itu gue juga ngincer negeri, jadi gak ada niatan sama sekali untuk minta batuan sekolah yang gue rasa gak adil.
Gue banyak dibully, hanya kerena waktu ulangan-ulangan sekolah gue ga mau nyontek
Gak punya temen, karena dianggap manusia sok suci
Ok fine, gue gak sendiri!
Gue cuma gak mau, gu keluar sebagai lulusan yang gak bisa ngapa-ngapain tapi mau jadi doket, polisi, atau apalah yang keliatannya hebat-hebat
"Gak apa kalau nilai gue biasa-biasa, tapi gue bisa," gitu pikir gue.
Gue sangat berambisi masuk negeri, sampe akhirnya gue ikut seleksi nasional dan mandiri tapi gak lolos dikeduanya
Gue sempet merasa frustasi saat pengumunan seleksi mandiri
Gue bingung dan mulai takut dengan hasil seleksi mandiri yang soalnya terkenal lebih susah dari seleksi nasional
Gue nangis tapi sok tegar dan senyum-senyum depan keluarga
Gue juga bingung kampus swasta mana lagi yang masih buka dengan harga yang gak terlalu mahal
Karena waktu itu kondisinya bokap abis pensiun setahun lalu, adek gue lagi butuh masuk SMA, kakak gue ud married dan tentu urus anaknya, dan kakak gue yang kedua sedang berada pada jenjang karir yang baik namun gue gak terbiasa merepotkan doi
Karena selama ini gue dibiayain sekolahnya sama orang tua, jadi agak ada rasa aneh saat tau bahwa keadaan memaksa biaya sekolah gue selanjutnya ini akan di-cover kakak kedua gue.
Gue bingung, mau cari kampus yang gak mahal tapi bagus, rasanya udah telat
Gue ga punya jaringan kampus-kampus gitu
Sampe akhirnya gue ud putus asa, dan hampir gue ikut tes seleksi mandiri di kampus negeri lain tapi lagi-lagi dengan memilih jurusan yang tidak sesuai talenta gue
Tapi apa? Tuhan mau gue ikut tes di salah satu kampus swasta yang udah berdiri kisaran 60 tahun lamanya dan tentu udah berpengalaman dalam bidang pendidikan khususnya bidang komunikasi
Sesuai yang gue pengen banget!
Tes demi tes gue lalui, ada tes akademik yang terdiri dari matematika dasar, IPA aplikasi, bahasa indonesia, bahasa inggris, IPS terpadu, dan ilmu pengetahuan umum, juga ada tes kesehatan yang terdiri dari tes urin, tensi, tinggi dan berat badan, buta warna, serta ada psikotes yang lamanya minta ampun dan lumayan berhasil bikin mula dan pikiran waut-awutan setelahnya.
Waktu itu gue ditemenin bang Billy, ditungguin dari pagi sampe sore di kampus waktu tes. Aaaaakk, i heart you, bang!!!
Setelah selesai tes, gue berharap-harap cemas untuk lolos
Karena yang gue dengar, kampus itu juga jual mahal sama mabanya
Dari 100% peserta tes di tiap gelombang, akan disisihkan sebanyak 25% sebagai peserta yang gagal
Itu cukup membuat gue lumayan pesimis mengingat persiapan yang kurang maksimal namun agak lebih baik dibanding persiapan seleksi negeri
Tapi Tuhan Yesus baik, dan akhirnya gue lulus pada pilihan pertama dari 2 pilihan yang gue tuliskan di kertas pendaftar
Gue lulus di Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat atau kerennya Public Relation (hehehehe)
Oke yang bisa gu ambil maknanya adalah, ketika gue daftar di negeri, gue pilih jurusan yang aneh-aneh
Macam filsafat, arkeologi, yang gue tau passing grade nya gak terlalu tinggi di univ itu
Tapi apa? Ketidaklolosan yang gue alami atas seizin Tuhan, justru mengantar gue kepada bidang yang "gue banget"
Memang tidak di negeri, tapi paling tidak saat ini gue sudah terdaftar sebagai maba pada sebuah institut yang gak kalah ciamik deh lulusan-lulusannya
Semoga gue mampu menjadi pribadi yang lebih mampu bersyukur dan beradaptasi dengan lebih baik lagi dengan lingkungan hidup di manapun gue berada

Cintai bidangmu, bukan gedung kampusmu, atau bergengsi atau tidaknya kampusmu. Itulah yang akan membuat kamu bersyukur.
Kampus gak membuat kamu menjadi master, tapi bidangmu yang akan membuat kamu menjadi ahli.
Pesan moralnya, gak usah ngincer nama kampus yang beken dengan milih jurusan yang aneh-aneh padahal gak sesuai bidang/talenta
Bahaya, itu awal dari ketersesatan
Tapi, pikirkan selepas jadi sarjana, mau melangkah ke jenjang karir ke arah mana

Pengkhotbah 3:11 "Ia menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka, tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir."

2 Tawarikh 15:7 "Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu."
 Amin.
Tuhan berkati.


Maba IISIP Jakarta
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FIKOM-Humas

Selasa, 10 Februari 2015

Rahasia Sang Empunya Kehidupan

Banyak suka duka yang gue alami di masa-masa labil ini. Banyak hal yang menjadi bahan pembelajaran gue pada masa sukar di kehidupan remaja ini. Gak banyak yang gue ungkapkan, tapi banyak yang gue pikirkan. Mulai dari hal kecil, sampe hal besar yang entah apakah sesungguhnya itu adalah hal kecil yang gue besarkan.
Ok, di kehidupan SMA ini bener-bener gue mengalami yang namanya perhelatan batin. Tapi gue menganggap semua adalah berkat. Nggak gampang tentunya. Namun, semakin terbiasa mengalami justru akan semakin membuat diri merasa menjadi orang paling beruntung. Kenapa? Lo bisa rasain, kalo lo ada di posisi gue :)
Cuma nggak habis pikir aja, kenapa banyak orang yang menaruh rasa kesal saat sesamanya nggak melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan. Analoginya adalah seekor babi yang memaksa sapi untuk terjun berkubang di lumpur yang kotor. Sapi nggak akan mau lah, karena itu bukan habitatnya. Begitu juga yang banyak dialami anak muda zaman sekarang. Absurd. Hanya mementingkan pihak-pihak tertentu. Entah itu baik atau buruk.
Muak dengan segala keluguan yang dipura-purakan. Benci dengan segala ketidakadilan yang diakari oleh sikap nepotisme di dalam suatu lembaga. Lembaga pendidikan. Suatu bisnis menjanjikan untuk sebuah pencitraan, rupanya :)
Sebagai rakyat awam, yang bisa dilakukan mungkin hanyalah diam. Bukan tanpa tujuan. Tentu diam sambil mengamati sudah sejauh manakah nepotisme itu berkembang. Hingga pada waktunya nanti akan ada saat di mana pemberantasan terhadap sikap tersebut akan terkuak, dan pemberontakan terjadi di mana-mana.
Berbanding terbalik dengan pengalaman gue saat mengenyam ilmu bersama masyarakat mayoritas. Dengan pengalaman tersebut, gue banyak belajar tentang toleransi. Toleransi yang merata, tidak berat sebelah. Bukannya menyalahkan, ini hanyalah soal salah paham saja. Salah paham yang diperpanjang dan diperlebar. Melalui kisah hidup persahabatan dan pertemanan yang penuh lika-liku, gue diajarkan untuk berhati-hati. Berhati-hati untuk memberi hati kepada orang yang katanya mau jadi sahabat. Banyak yang memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan yang dialaminya. Dan ternyata itulah yang gue alami.
Bersyukur. Sekali lagi bersyukur. Terima kasih tak terhingga karena pada akhirnya Bapa gue di Sorga menunjukkan siapa sosok itu sesungguhnya. Nggak usah disesali, kalo itu membuat dia nyaman, kenapa harus melarang? Bahkan orang tuanya saja justru membebaskannya memilih. Memilih teman.
Bukan masalah politik, tapi terdapat sifat politik yang tertanam di dalam kejadian itu.
Lagi-lagi, Tuhan mengingatkan gue untuk bersyukur.
Banyak hal yang Dia izinkan terjadi di dalam hidup gue. Meskipun nggak ngerti kenapa semua terjadi, tapi Dia selalu ingetin kalo ternyata selama ini gue nggak pernah sendiri. Diri gue lah yang membuat semuanya menjadi terasa sendiri. Manusia. Nggak pernah puas. Selalu minta lebih dari apa yang didapat. Suka nggak mikir kalo minta sesuatu sama Tuhan.
Sekarang, gue serahin semua rencana dan harapan gue setelah lulus SMA ini ke Bapa di Sorga. Gue tau rancangan-Nya terbaik. Dia tahu betul porsi gue mesti duduk di mana. Dia tahu betul kapasitas gue mesti diletakkan di mana. Berserah. Berserah. Nggak berhenti berserah. Gue berharap di sana. Kalo Tuhan sudah berkehendak dan berkata 'jadilah', ya pasti akan terjadilah... Amin.