Selasa, 10 Februari 2015

Rahasia Sang Empunya Kehidupan

Banyak suka duka yang gue alami di masa-masa labil ini. Banyak hal yang menjadi bahan pembelajaran gue pada masa sukar di kehidupan remaja ini. Gak banyak yang gue ungkapkan, tapi banyak yang gue pikirkan. Mulai dari hal kecil, sampe hal besar yang entah apakah sesungguhnya itu adalah hal kecil yang gue besarkan.
Ok, di kehidupan SMA ini bener-bener gue mengalami yang namanya perhelatan batin. Tapi gue menganggap semua adalah berkat. Nggak gampang tentunya. Namun, semakin terbiasa mengalami justru akan semakin membuat diri merasa menjadi orang paling beruntung. Kenapa? Lo bisa rasain, kalo lo ada di posisi gue :)
Cuma nggak habis pikir aja, kenapa banyak orang yang menaruh rasa kesal saat sesamanya nggak melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan. Analoginya adalah seekor babi yang memaksa sapi untuk terjun berkubang di lumpur yang kotor. Sapi nggak akan mau lah, karena itu bukan habitatnya. Begitu juga yang banyak dialami anak muda zaman sekarang. Absurd. Hanya mementingkan pihak-pihak tertentu. Entah itu baik atau buruk.
Muak dengan segala keluguan yang dipura-purakan. Benci dengan segala ketidakadilan yang diakari oleh sikap nepotisme di dalam suatu lembaga. Lembaga pendidikan. Suatu bisnis menjanjikan untuk sebuah pencitraan, rupanya :)
Sebagai rakyat awam, yang bisa dilakukan mungkin hanyalah diam. Bukan tanpa tujuan. Tentu diam sambil mengamati sudah sejauh manakah nepotisme itu berkembang. Hingga pada waktunya nanti akan ada saat di mana pemberantasan terhadap sikap tersebut akan terkuak, dan pemberontakan terjadi di mana-mana.
Berbanding terbalik dengan pengalaman gue saat mengenyam ilmu bersama masyarakat mayoritas. Dengan pengalaman tersebut, gue banyak belajar tentang toleransi. Toleransi yang merata, tidak berat sebelah. Bukannya menyalahkan, ini hanyalah soal salah paham saja. Salah paham yang diperpanjang dan diperlebar. Melalui kisah hidup persahabatan dan pertemanan yang penuh lika-liku, gue diajarkan untuk berhati-hati. Berhati-hati untuk memberi hati kepada orang yang katanya mau jadi sahabat. Banyak yang memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan yang dialaminya. Dan ternyata itulah yang gue alami.
Bersyukur. Sekali lagi bersyukur. Terima kasih tak terhingga karena pada akhirnya Bapa gue di Sorga menunjukkan siapa sosok itu sesungguhnya. Nggak usah disesali, kalo itu membuat dia nyaman, kenapa harus melarang? Bahkan orang tuanya saja justru membebaskannya memilih. Memilih teman.
Bukan masalah politik, tapi terdapat sifat politik yang tertanam di dalam kejadian itu.
Lagi-lagi, Tuhan mengingatkan gue untuk bersyukur.
Banyak hal yang Dia izinkan terjadi di dalam hidup gue. Meskipun nggak ngerti kenapa semua terjadi, tapi Dia selalu ingetin kalo ternyata selama ini gue nggak pernah sendiri. Diri gue lah yang membuat semuanya menjadi terasa sendiri. Manusia. Nggak pernah puas. Selalu minta lebih dari apa yang didapat. Suka nggak mikir kalo minta sesuatu sama Tuhan.
Sekarang, gue serahin semua rencana dan harapan gue setelah lulus SMA ini ke Bapa di Sorga. Gue tau rancangan-Nya terbaik. Dia tahu betul porsi gue mesti duduk di mana. Dia tahu betul kapasitas gue mesti diletakkan di mana. Berserah. Berserah. Nggak berhenti berserah. Gue berharap di sana. Kalo Tuhan sudah berkehendak dan berkata 'jadilah', ya pasti akan terjadilah... Amin.